Kisah ini berasal dari putra syeikh Abdurrahman As-Sa’di yang diceritakan kepada Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al Badr.
Suatu saat, syaikh As-Sa’di berjalan dengan salah seorang putranya. mereka bertemu seseorang di tengah perjalanan tersebut, dan orang itu berkata , “Ya syaikh, tahukah engkau bahwa telah terjadi begini dan begitu … “
Orang tersebut menceritakan peristiwa dengan sangat rinci dan penuh semanagat. Padahal syaikh sudah tahu kejadian tersebut. Namun syaikh bersikap seolah-olah beliau baru pertama kali mendengar kejadian tersebut, sehingga membuat orang itu semakin semangat bercerita. Dan tatakala syaikh berkata : “ Ooo begitu … “ maka orang tersebut semakin gembira.
Kemudian syaikh melanjutkan perjalanan kembali. Maka bertemulah syaikh dengan orang kedua yang bercerita tentang kejadian yang sama. Namun syaikh tetap sabar mendengarkan, seakan-akan beliau baru pertama kali mendengar kisah tersebut.
Demikian halnya ketika datang orang ketiga meneceritakan kejadian yang sama, semua didengarkan oleh syaikh dengan penuh seksama. Padahal putra syaikh sendiri merasa tidak sabar dan ingin mengatakan kepada orang itu bahwa syaikh sudah tahu kejadiannya.
Sikap beliau penuh tawadhu ini tidak lain upaya menyenangkan hati orang yang bercerita, dan agar tidak menyedihkan hatinya.
Subhanaallaah !! Coba kalau kita yang berada pada posisi beliau. Mungkin kita dnegan mudah mengatakan, “ Ooo .. itu? saya sudah tahu”. Atau, “ Wah, kamu ketinggalan berita. Saya sudah tahu sebelumnya”. Atau “ Hmm, saya piker kamu mau menyampaikan sesuatu yang penting, ternyata berita ini? kalau ini sih sudah basi”. Atau ungkapan-ungkapa lainnya yang mungkin akan membuat sedih orang yang hendak bercerita tersebut.
Lihatlah syaikh As-Sa’di, ulama sekaliber beliau bersedia merendahkan diri untuk mendengarkan sebuah cerita yang sudah beliau ketahui, hanya untuk menyenangkan hati mereka.
( sepenggal catatan perjalanan dari madinah hingga ke radio rodja .. ustadz Abdul Muhsin Firanda)
Lalu bagaimana dengan kita? ….
Suatu saat, syaikh As-Sa’di berjalan dengan salah seorang putranya. mereka bertemu seseorang di tengah perjalanan tersebut, dan orang itu berkata , “Ya syaikh, tahukah engkau bahwa telah terjadi begini dan begitu … “
Orang tersebut menceritakan peristiwa dengan sangat rinci dan penuh semanagat. Padahal syaikh sudah tahu kejadian tersebut. Namun syaikh bersikap seolah-olah beliau baru pertama kali mendengar kejadian tersebut, sehingga membuat orang itu semakin semangat bercerita. Dan tatakala syaikh berkata : “ Ooo begitu … “ maka orang tersebut semakin gembira.
Kemudian syaikh melanjutkan perjalanan kembali. Maka bertemulah syaikh dengan orang kedua yang bercerita tentang kejadian yang sama. Namun syaikh tetap sabar mendengarkan, seakan-akan beliau baru pertama kali mendengar kisah tersebut.
Demikian halnya ketika datang orang ketiga meneceritakan kejadian yang sama, semua didengarkan oleh syaikh dengan penuh seksama. Padahal putra syaikh sendiri merasa tidak sabar dan ingin mengatakan kepada orang itu bahwa syaikh sudah tahu kejadiannya.
Sikap beliau penuh tawadhu ini tidak lain upaya menyenangkan hati orang yang bercerita, dan agar tidak menyedihkan hatinya.
Subhanaallaah !! Coba kalau kita yang berada pada posisi beliau. Mungkin kita dnegan mudah mengatakan, “ Ooo .. itu? saya sudah tahu”. Atau, “ Wah, kamu ketinggalan berita. Saya sudah tahu sebelumnya”. Atau “ Hmm, saya piker kamu mau menyampaikan sesuatu yang penting, ternyata berita ini? kalau ini sih sudah basi”. Atau ungkapan-ungkapa lainnya yang mungkin akan membuat sedih orang yang hendak bercerita tersebut.
Lihatlah syaikh As-Sa’di, ulama sekaliber beliau bersedia merendahkan diri untuk mendengarkan sebuah cerita yang sudah beliau ketahui, hanya untuk menyenangkan hati mereka.
( sepenggal catatan perjalanan dari madinah hingga ke radio rodja .. ustadz Abdul Muhsin Firanda)
Lalu bagaimana dengan kita? ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar